Tuesday, December 22, 2009

IKHWAN AL-SHAFA

PENDAHULUAN


Sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.), Cara pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam. Para filsuf dituduh sebagai penganut bid’ah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang jumud dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri.

Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.

IKHWAN AS-SHAFA

A. SEJARAH IKHWAN AL-SHAFA
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd.
Nama gerakan ikhwan as-shofa itu konon terambil dari kandungan isi Kisah Merpati di dalam cerita Kalilah dan Daminah, sebuah karya klasik dari India buah tangan ahli pikir Baidaba, yang mengisahkan “kemurnian persahabatan”. Mereka melukiskan organisasinya itu dengan himpunan ikhwan yang murni dan jujur dan mencintai ilmiawan-ilmiawan teramat mulia, hidup berdasarkan kerja sama dan saling Bantu-membantu, rela mengorbankan apapun bagi kepentingan ikhwan yang lainnya. “ bersikaplah, hai ikhwan, sebagai seorang yang bettul-betul Mukmin, sebagian merupakan wali bagian-bagian lainnya, menganjurkan yang Ma’ruf dan mecegah yang mungkar”.
Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Sesuai dengan namanya, “Ikhwan ash-shafa”, justru asas utama berdirinya organisasi ini ialah persaudaraan yang dilakukan secara tulus ikhlas, kesetiakawanan yang suci murni serta saling menasihati antara sesama anggota organisasi dalam menuju ridha Ilahi. Oleh sebab itulah di dalam 5risalah yang mereka kumpulkan para penulis selalu memulai nasihatnya dengan kalimat “Ya ayyuhal akh!” (hai saudara!) atau “Ya ayyuhal akh al-fadhil!” (wahai saudara yang budiman!) suatu tanda kesetiakawanan antara sesama anggota.
Mereka mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, pecinta kebenaran, elit intelektual, dan solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan, dan etnik kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyah. Sebagai solusi, mereka menawarkan alternatif, yaitu menyatukan perbedaan ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.
Mereka mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia, dan Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan statemen-statemennya.
Pandangan-pandangannya banyak bertentangan dengan khalifah, sehingga untuk menghindarkan diri dari campur tangan khalifah, mereka merahasiakan keberadaan dan aktifitasnya. Mereka berkumpul dan bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Sekalipun mereka memiliki banyak cabang, namun anggotanya sangat sedikit. Hal ini dikarenakan: 1) pergerakan mereka disusun secara rahasia; dan 2) penerimaan anggota dilakukan secara selektif. Di samping bobot ilmiahnya, mereka juga mempertimbangkan calon anggota dalam hal akhlak, karakter, dan budi pekertinya.
Risalahnya
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.
B. PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA
Ikwan ash-shafa mendasarkan pengembangan ilmu mereka atas pengambilan beberapa mazhab dan aliran dalam Islam, di samping juga mereka juga mengambil ilmu dari agama nasrani, dan wasani. Mereka juga mengambil kebenaran dari ajaran nabi Nuh, nabi Ibrahim, Socrates, Plato, Zoroaster, nabi Isa, nabi Muhammad, Ali dan lain-lain
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
Menurut Ikhwan al-Shafa, sumber pengetahuan ada empat macam:
1. Kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat.
3. Alam.
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris.
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, menurutnya, hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan kejadian sang bayi.
Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara umum, adalah untuk mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan. Ikhwan al-Shafa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan ¬global-sosial adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan ini, menurutnya, adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya, hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral.
Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengadopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.

Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Guru / Pendidik
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1) Pemuda cekatan berusi 15-30 tahunm yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat, mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
2) Al-Ikhwan al-Akhyar, usia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap berkorban demi persaudaraan
3) Al-Ikhwan al-Fudhala al-Karim, berusia 40-50, merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah dapat mengetahui Namus Ilahy (malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan Nabi.
4) Tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun keatas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu mmahami hakikat sesuatu.

3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia (Allah) menurunkan hujan dari langit (al-Hajj [22]: 63), juga harus dipahami secara simbolik: air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan.

4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.

PENUTUP


Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.” Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas pendidikan sudah dimulai.
Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1) kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3) alam; 4) perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA



o Adenan. Filsafat Islam Klasik, Renaisance dan Modern. Medan: Duta Azhar. 2007

o Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1997

o Souyb, Yousoef. Pemikiran Islam Merobah Dunia. Medan: Madju.1984.

o Ali, Yusnari. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, ed. 1, cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara. 1991.

o Ikhwan as-shafa. Id.wikipedia.org. november 2009

o Pendidikan Dalam Perspektif Ikhwan Al-Shafa (Menguak Sebuah Kepedulian). allabout semuaada.blogspot.com/2008/11/pendidikan-dalam-perspektif-ikhwan-al.html, November 2009

o Arifin, Zainal. Ikhwan al-safa (sejarah dan pemikirannya). images.derizzain.multiply.multiplycontent.com. November 2009

No comments:

Post a Comment

Search / Cari